Mahasiswa Oposisi Negara Sudah Berlalu


Luthfi ‘Afif *)

Mahasisiwa adalah kata siswa dengan mendapat tambahan kata Maha, term ini membuat nuansa yang sangat agung bagi mahasiswa itu sendiri. Dari proses sejarah gerakan mahasiswa yang tergambarkan, seolah-olah mahasiswa tidak pernah puas menerima kenyataan sosial sebagaimana adanya, mereka selalu memeriksa kondisi dan memberikan value terhadap penguasa.

Dinamika mahasiswa sangat menarik untuk dikaji. Berbagai macam prestasi telah disematkan kepada mahasiswa. Prestasi ini diperoleh dari torehan sejarah, sejak tahun 1965 mahasiswa melakukan aksi masal yang memberikan desakan terhadap turunnya Presiden Soekarno. Dan turut memberikan gerbang terhadap pemerintahan Orba. Disusul demonstrasi pada tahun 70-an. Mereka mengkritik pemerintah serta politik pembangunan yang dijalankan. Hingga pada 1998 aksi masal yang berhasil meelengserkan Presiden Soeharto.

Semangat tersebut merupakan warisan dari para pelajar dan pemuda sebelum kemerdekaan. Pada zaman kolonialisme, pendidikan yang diberikan oleh Belanda menjadi blunder. Karena para pelajar pribumi menjadi pintar dan sadar akan penjajahan. Hal tersebut menjadikan pelajar berbalik menyerang terhadap kekuasaan penjajah yang dinilai tidak adil dan tidak memanusiakan manusia. Dalam proses sejarahnya yang lampau hingga kini, pelajar ataupun mahasiswa memosisikan diri menjadi oposisi dari kekuasaan.
news.okezone.com

Dalam proses sejarahnya, besar sekali peranan mahasiswa selaku pencetus perubahan sosial dan politik. Setiap ada kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap rakyat seperti, kenaikan BBM, korupsi, penggusuran lahan,  sontak menimbulkan reaksi dari mahasiswa. Lewat diskusi dan propaganda kemudian lanjut turun ke jalan. Itu semua sebagai bentuk kontrol mahasiwa terhaadap fenomena sosial. Kenapa mahasiswa beraktifitas seperti itu, dan apa tujuannya?  Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu kita tinjau kembali apa dan siapa itu maha-siswa? Menurut Arif Budiman mahasiwa sedikit banyak digolongkan ke dalam kelompok cendikiawan. Akan tetapi berbeda dengan cendikiawan yang dapat dikatakan menempati kedudukan sosial tertentu. Sifat sosial mahasiswa yang penting dalam hubungan sosial adalah bahwa situasi mereka selalu becorak sementara.  

Dalam stratifikasi sosial mahasiswa berada dalam posisi yang netral. Mahasiswa tidak terlibat dalam situasi produksi. Anggapan mahasiswa adalah borjuis kecil itu karena melihat keluarganya. Jadi yang paling pas menurut saya untuk mendefinisikan mahasiswa adalah pengangguran terselubung. Karena di Indonesia tidak ada kepastian ataupun jaminan kerja terhadap lulusan-lulusan perguruan tinggi. Mahasisiwa mempunyai waktu luang dan kemampuan intelegensia, serata akses informasi. Hal-hal itu sangat mendukung kesadaran kritis mahasiswa terhadap kondisi yang ada, karena ketika dia mulai menyikapi kondisi dan memperjuangkan hak-hak rakyat dengan begitu mahasiswa secara praktis memperjuangkan dirinya dan masa depan bangsanya.

Di tengah kondisi sosial masarakat yang belum men-sejahtera-kan masyarakatnya secara ekonomi, menjunjung keadilan secara sosial, menjunjung demokrasi secara politik dan partisipasi secara budaya. Dari itu mahasisiwa tidak dapat bersikap pasif, menyerhkan segala-galanya kepada mereka yang kebetulan menduduki jabatan yang memimpin negara dan masyarakat. Mahasiswa adalah bagian  daripada rakyat, warga negara yang sama-sama mempunyai hak dan kewajiban. Dalam Indonesia yang menganut sistem demokrasi, mahasiswa mempunyai rasa tanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai orang yang terpelajar, yang dapat menimbang buruk dan baik dengan pendapat yang argumentatif untuk melancarkan perlawanan-perlawananya dari para penguasa yang hanya dapat menyengsarakan rakyatnya.

Sekedar Kritik

Dalam aktifitasnya mahasiswa selalu tampil menjadi oposisi terhadap penguasa, selain itu mahasiswa juga terkesan menjadi agen perubahan sosial. Walaupun kata ‘agen’ kurang begitu pas, karena perubahan suatu bangsa bukan atas kehendak mahasiswa, bukan pula kehendak akan kuasa, melainkan atas kehendak bangsa itu sendiri. Sesuai dengan firman Allah “Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu merubah nasibnya sendiri”. Ketika mahasiwa masih merasa menjadi agen maka dia akan terjebak dengan mitos keagungannya sendiri, karena perubahan harus dibingkai dalam cita-cita bersama.

Setelah reformasi, kegiatan mahasiswa yang entah ke mana arah dan tujuannya. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari kenyataan objektif  yang terjadi di masarakat. Aktifitas  mahasiswa lebih ke arah kegiatan karikatif, seolah-olah mahasiswa kurang piknik karena digalaukan oleh tugas kampus yang menumpuk. Ada juga sebagian mahasiswa yang wajahnya sering muncul di TV bukan dalam acara debat atau pun demonstrasi besar-besaran, tapi dalam acara komedi hiburan dan talk sow (mirip penonton bayaran) duduk rapi-lengkap dengan almamater tertawa kencang. Tepuk tangan dengan riuh, setelah acara selesai dapat nasi bungkus. Ada juga yang berkeliaran mencari proyek buat agenda siluman supaya acara dugem tetap lancar, ngeceng di mal, selfie di tempat wisata dan dipamerkan di sosial media. Filosofi hidup mereka adalah “aku bergaya maka aku ada”. Begitulah realitas mahasiswa pasca reformasi yang seolah-olah jauh dari nasib penderitaan rakyat. Lupa dengan permasalahan penggusuran, krisis air yang disebabkan oleh menjamurnya pembangunan hotel, pembakaran hutan akibat ulah dari pengusaha rakus.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment