Uang dalam Perspektif Jabatan


Kamil Dayasawa*)
"Aku bersedia diangkat bukan karena uang, tetapi semata-mata karena keyakinan." Czeslaw Miloz

Ketika berbicara soal relasi jabatan dengan uang, di abad 21 seperti sekarang, kita dihadapkan pada dua kutub yang tidak bisa dipisahkan. Seperti barat dan timur, masing-masing arah punya kepentingan untuk menentukan titik tengah. Hanya dalam dunia politik seperti jabatan, analogi tersebut tidak sepenuhnya seimbang. Karena dalam soal jabatan, uang lebih sering menentukan.

Bahkan fenomena uang dalam jabatan sudah menjadi mainstream. Di mana-mana selalu dengan mudah ditemukan pengangkatan yang bertumpu pada besarnya nominal yang dapat dikeluarkan oleh calon yang akan menduduki jabatan. Istilah yang cukup familiar dalam khasanah media ialah money politic. Dari tingkat kedudukan yang paling rendah hingga yang paling tinggi sekalipun, uang menjadi senjata yang sangat mematikan.

Kita bertanya apa yang terjadi dengan re-generasi bangsa agung bernama Indonesia ini. Kenapa dalam hidup keseharian antar individu selalu penuh dengan unsur kepentingan sepihak yang seringkali merugikan orang banyak. Padahal bila ditarik ke dalam khasanah agama, Indonesia merupakan negara yang salah satu ideologinya percaya akan adanya Tuhan. Setiap agama pasti mengajarkan bahwa berbuat suatu yang merugikan pihak lain adalah perbuatan yang cela. Baik dalam hubungan horizontal atau vertikal.
Lantas penyakit apa yang merasuki tubuh individu pejabat yang berakar-budaya luhur ini?

Tulisan ini tidak untuk memberikan jawaban terhadap problematika di atas. Namun sekadar menganalisa apa-apa yang terjadi dengan pemangku jabatan negara dewasa ini. Sehingga akan muncul suatu gambaran jelas yang dapat memberi sedikit kesadaran akan penyakit yang sedang diderita.

Berbcara uang yang hubungannya dengan persoalan korupsi, tentu tidak bisa sekadar menyebut Indonesia sebaga satu-satunya negara. Penyakit kronis tersebut bahkan menyebar ke dalam sistem negara-negara besar di dunia. Hanya saja Indonesia menjadi negara yang cukup prestius dalam melaksanakan budaya KKN. Pejabat-pejabat lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada mengalokasikan anggaran kepada rakyat yang terpinggirkan. Hukum dan kebijakan dibuat hanya sebatas konsep, tapi pincang dalam praktik.

Yang perlu diberi perhatian lebih di sini bukan soal berapa uang negara hilang, tapi karena kegiatan mencuri uang rakyat atau fenomena jual beli jabatan telah menjadi kewajaran. Seperti diketahui, bila suatu perbuatan telah menjelma budaya hidup, maka akan sangat sulit dihapuskan. Karena pelaku akan cenderung membenarkan kelakuannya berdasar pada dalih; ini sudah biasa dilakukan turun temurun.

Kebudayaan secara terminologi berarti suatu pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang oleh suatu kelompok tertentu. Dengan begitu, tanpa harus melalui training atau pembelajaran, generasi berikutnya cenderung akan melanjutkan kebiasaan tersebut. Terlebih apabila hal itu memberikan keuntungan yang besar secara finansial. Tak terbayangkan, bila semua yang terjadi di kalangan pejabat hari ini terus berlanjut kepada generasi masa depan Indonesia.

Masih hangat dalam pikiran kita bagaimana Tapol bisa keluar dari penjara dan nongkrong di sebuah restoran. Sedangkan pencuri sebuah mangga ditahan berbulan-bulan dan tidak bisa berkutik. Pemungut potongan kayu jati di Situbondo yang diperkarakan pihak Perhutani. Sedang penebang ilegal di berbagai tempat di luar Jawa, tidak pernah terangkat ke permukaan. Indikasi ini menunjukkan, bahwa uang telah menduduki tempat yang lebih tinggi dari sekadar kebenaran. Atau bisa dikata, dengan uang segalanya menjadi bisa. Miris!

Sebagai rakyat yang cinta tanah air sepatutnya kita sadar dan kembali kepada diri sendiri. Berangkat dari dalam diri, berarti kita telah berusaha sekuat jiwa untuk menjadi manusia yang baik bagi semua alam. Karena tidak ada kekuatan manusia yang dahsyat kecuali kekuatan individu yang besama-sama menuju cahaya. Biarkanlah mereka yang tua menjadi hitam oleh warisan budaya kepentingan dan uang. Tapi generasi baru harus lahir kembali sebagai manusia baru. Manusia yang lebih cinta pada kebijaksanaan daripada uang. Manusia yang lebih cinta kejujuran daripada kepentingan-kepentinggan. Hingga suatu hari Indonesia baru hadir. Kehormatan dan kebajikan datang.

Rantai panjang budaya uang sebagai senjata yang membungkam harus diputus sejak dalam pikiran generasi muda. Karena dalam pikiran segalanya bermula.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment