Puisi-Puisi Kamil Dayasawa

Berlayar ke Sapudi

Pulau Sapudi terbayang di kejauhan. Lengan kudekapkan di atas lunas sampan. Mata ayah cerlang mata elang, memandang kebiruan laut pelabuhan. Ketika mesin dinyalakan kulihat langit tambah terang. Debu-debu tanah kelahiran terbang bagai kelambu sulaman tangan.Tampak tenang menghayati gerak angin ke selatan. Singgah di daunan, jadi tanda keabadian.

Aku bersandar pada tiang anjungan, layar kuning terkembang. Orang-orang duduk bersila, mengamati perubahan cuaca di wajah nahkoda. Ayah bicara pada camar yang terbang dari Giliyang, memberi isyarat yang tak bisa dimengerti anak seusia kembang.

Dungkek semakin jauh dari pandang, suara ibu tersayang terngiang bagai nyanyian. Menjadi doa sepanjang bentangan laut biru. Diamini ombak menderu.

Sokaramme di hadapan pasti gaduh suara kuli, di sana kami akan berhenti. Mengaji diri pada sapi karapan, melangkah gagah ke bibir dermaga. Mencicipi manis pattola di warung kecil; merah gulali merah tanah Sapudi.

"Di tanah itu aku belajar menjadi angin samudera," bisik ayah.

Aku tengadah menatap wajah tegang di hadapan. Asin garam semerbak dari lambung sampan. Pelayaran baru setengah jalan

"Adakah di sana suara burung dari surga?"

"Tidak. Desa Gayam adalah istana bagi pedagang. Tempat masa kanak-kanak dibungkam."

Ayah menoleh ke belakang. Para lelaki mengangkat tangan

Yogyakarta, 22 Juni 2015

-pattola: makanan khas dari pelabuhan Dungkek
-gulali: camilan manis menyerupai permen

Rumah Kecil, Gamping

Di gardu bambu tanpa tirai, kau duduk bersandar
Lenganmu legam semerbak garam
Cahaya remang lampu kuning jatuh di pangkuan
Bagai Kalijaga, mengamati surut-pasang hilir sungai

Aku memandang ke dalam dadamu: sebuah lapangan terbuka
Anak-anak bermain sepakbola di bawah lecutan petir dan hujan
Sepasang matanya tiba-tiba pecah ketika langit bertambah basah
Bulan bagai perawan baru mekar, tersipu sendiri dicium bintang

"Bila banyak penyair memuja bunga dan bulan
Aku memilih jatuh cinta pada diam," ucapmu tenang.

Seribu bahasa tak bisa mengungkap rahasia
Tapi satu rasa sanggup memberi makna
Seperti kupu-kupu yang datang malam hari
Terbang lewat jendela dan hinggap di sisi lemari

Begitulah akhirnya aku mengerti,
Kau bukan puisi atau sebungkus nasi
Laut Legung mengajarimu arung
Walau terkepung tetap terdengar detak jantung

Marwah kesunyian tak bisa ditangkap muka pintu
Sabda arwah bukan kerlipan lelatu
Rumah kayu kecil dan tua, saksi bisu
Rumput halaman akan terus menjulang

-meski angin terus menggoyang

/Yogyakarta, 2015

Sebuah Nyanyian

Kau tahu aku bukan anak sulung gelombang
Perahuku karam jauh di laut kenangan
Sauh dan jangkar terserak di dasar
Rindu debar jadi mawar

Setelah angin tenggara
Membangun menara pasir
Kau dan aku berdekapan
Saling menghirup bau tubuh masing-masing
Sebelum air yang asin menggarami
Jejak kita yang terakhir

Kita berpisah menuju ruang yang bukan kematian:
Sebuah gurun tak berpasir
Hutan tak berpohon
Gunung tanpa api

Tempat segala yang berarti tinggal ilusi:
Padang tanpa musim semi
Hujan dan kemarau tak dikenal lagi

/Yogyakarta, 2015

Kau Pantai Putih

Kau pantai putih tempat lokan menahan perih
Gunung ombak berkejaran, mendekat
Padamu
Segala resah laut mengadu

Misalkan nelayan kepada perahu
Sepanjang waktu terus bersatu
Ingin kudekap kau selalu
Hingga angin pun tahu
Tak ada rahang lebih putih dari rongga karang

Bukankah telah kau saksikan
Seorang pelayar tenggelam di samudera jauh
Jiwanya yang muda menyatu dengan ikan
Camar terbang di atasnya
Melantunkan kalimat-kalimat talqin
Sedang layar putih timbul tenggelam
Diseret gunung gelombang

Pernahkah kau bayangkan
Aku pulau kecil tak berpenghuni
Menanti desau suaramu
Datang dari negeri seribu lampu

Misalkan nelayan kepada perahu
Sepanjang waktu terus bersatu
Ingin kutembangkan sebuah lagu
Dengarkanlah, sebelum aku tidur dan mimpi basah

Dan cintaku yang lemah habis dikikis badai
-badai dari lembah purbakala

/Yogyakarta, 2015

Previous
Next Post »
Thanks for your comment