Kekuatan Mantra dan Seni

Luthfi ‘Afif *)

Novel Mantra penjinak ular merupakan kumpulan dari cerbung (cerita bersambung) yang di tulis di kompas oleh Kuntowijoyo. Novel yang berjumlah 274 halaman, ukuran kertas 13cm x 19cm itu diterbitkan pada bulan Oktober tahun 2000. Cetakan kedua pada Oktober 2013, dengan motifasi mengenang almarhum guru besar sejarah (Pak Kunto).

Mantra merupakan kata-kata penuh metafora yang mempunyai kekuatan spiritual dan dapat menaklukan apa pun. Mantra bisa berfungsi ketika yang empunya mantra mempunyai kemantapan yang begitu kuat. Dengan mantra orang akan menjadi seperti memiliki kesaktian, seperti yang digambarkan dalam novel Mantra Penjinak Ular. Tokoh utama dalam novel yang bernama Abu tiba-tiba didatangi orang yang mirip dengan pendekar, kemudian Abu diwarisi mantra yang berbahasa arab dan lafal-lafalnya diambil dari al-Quran. Mantra itu mempunyai kekuatan untuk menjinakkan ular.

Abu adalah gambaran dari pemuda yang mempunyai kepribadian luwes. Bergaul dengan masyarakat, banyak sekali terobosan baru yang ditawarkan kepada masyarakat. Salah satunya adalah program membuat saluran air. Dengan kecerdasan dan keluwesan Abu, agenda besar itu pun tercapai.

bulu-perindupemikat.blogspot.com

gambaran dari mantra itu sebagai wujud komunikasi positif yang dapat menghasilkan cinta, sehingga ular yang berbisa pun dapat diluluhkan tanpa perlu menyakitinya. Mencintai ular sama juga dengan mencintai lingkungan, karena ular termasuk dalam satu ikatan rantai makanan, satu saja putus maka keadaan alam menjadi tidak stabil. Bagi Abu ular tidak perlu ditakuti, kalau kita tidak mengganggu ular, ular juga tidak akan mengganggu kita.

“Manusia dan Ular mempunyai dunianya sendiri-sendiri. Ular punya dunia, manusia punya dunia. Biarkan sungai mengalir, biarkan burung terbang, biarkan ular berdesir.”

Begitulah kata Abu saat dia menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya mencintai lingkungan. Mencintai ular berarti mencintai alam. Tidak seperti kenyataan sekarang, eksploitasi besar-besaran terhadap alam yang mengakibatkan banjir, kebakaran hutan, langkanya air dan derasnya air mata.


Selain Abu pandai menjinakkan ular dia juga jago mendalang. Bagi dia wayang memiliki kekuatan yang mampu memberikan pelajaran hidup bagi manusia. Karena selain wayang sebagi tontonan ia juga merupakan sebuah tuntunan. Selain itu wayang juga mengajarkan kebijaksanaan, berlaku adil, menamkan nilai-nilai humanis, mengajari pemimpin untuk mencintai masyarakatnya, dan dengan wayang Abu mampu menumbangkan randu yang telah berakar kuat.

Konflik mulai muncul ketika akan dilaksanakan pesta demokrasi, saat pemilihan lurah Abu secara tidak sadar masuk ke dalam lingkaran politik tertentu. Karena kemahiran dia dalam menjadi dalang. Wayang menjadi pilihan kampanye dari para calon pemimpin desa, karena atensi masyarakat terhadap wayang begitu tinggi. Selain itu wayang sangat strategis untuk kampanye di bandingkan dangdut yang paling banter 12 lagu sudah selesai, sedangkan wayang bisa sampai pagi.

Abu mulai memikirkan tentang fungsi seni dalam dinamika sosial masyarakat. Hingga dia menemukan jawabanya, seni itu juga menghibur dan mengajarkan kebijaksanaan hidup. Lebih jauh menurutnya, seni adalah air yang menutupi benjol-benjol yang ada dalam masyarakat dan menjadikannya datar. Mengutip ajaran Sunan Drajad, Abu berpendapat, seni memberi air bagi mereka yang kehausan, memberi payung bagi mereka yang kehujanan, memberi tongkat bagi pejalan yang sempoyongan.



Dalam novel ini setting budaya Jawa yang berbalut Islam sangat terasa. Konsep trilogi Islam yakni hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam menjadi ruh jalannya cerita dalam novel. Tokoh yang bernama Abu Kasan Sapari tumbuh dari suatu proses dialektik yang membuat Abu menjadi intelektual. Kecerdasannya mendorong masyarakat menjadi lebih maju, sadar lingkungan dan melek politik. Lewat dua senjata tersebut Abu dapat mencaabut akar randu yang sudah kokoh, selain itu Abu dengan daya intelegensia, dapat menjadikan wayang sebagai medium untuk mengingatkan para penguasa, dan sebagai edukasi moral terhadap anak-anak lewat inovasi wayang fabel, yang berdurasi pendek dan cerita yang mudah di pahami oleh anak-anak.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment