Banuayu

Kamil Dayasawa

“Aku tidak bisa, aku harus kembali ke rumah.”
“Tidak apa-apa. Aku akan menanti dengan tabah.”
Banuayu menyusuri jalan-jalan sempit menuju kota sambil mengingat kata-kata menyedihkan itu. Matahari terik di cakrawala menjelma lampu penerang dalam batinnya yang suram. Deretan sungai-sungai kecil di wajahnya, basah butiran garam. Masih lima belas kilo meter untuk sampai tujuan, tapi Banuayu, dengan kaki tuanya yang kuat bagai baja, telah terbiasa menempuh jarak yang jauh.
“Mengirim surat pada siapa hari ini, Nek?” tanya pegawai Kantor Pos yang sudah tidak asing dengan perempuan tua di hadapannya.
Banuayu menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Matanya yang redup masih memancarkan daya hidup yang kuat layaknya gadis perawan baru rekah. Tanpa sepatah kata, ia menjulurkan amplop putih bertuliskan nama seorang lelaki, alamat, dan juga nomor telepon.
“Kota ini cukup jauh, Nek. Butuh waktu satu minggu surat ini akan sampai,” ujar lelaki di hadapannya. Dalam hati lelaki itu terbesit sebuah pertanyaan besar tentang nama seseorang yang tertulis di atas amplop putih itu. “Dari mana nenek ini mengenalnya?”
Tapi pertanyaan itu menjadi wajar bagi seorang pegawai Kantor Pos yang membaca banyak alamat tapi tidak pernah tahu dengan pasti di mana tempat itu berada. Bagaimana harum tanahnya, perempuan-perempuannya atau cara mereka berbicara.

Setelah urusan di Kantor Pos selesai, seperti biasa, Banuayu akan singgah dan bermalam di rumah temannya, Kartika.
“Pekerjaan sia-sia yang kau lakukan membuatku sulit berpikir tentang baik dan buruk,” ujar Kartika ketika menerima selembar kertas kuning dari Banuayu. Kertas itu diberikan padanya supaya Kartika mau menyimpannya untuk seseorang yang akan datang suatu hari.
Banuayu memerhatikan seisi ruang tamu rumah teman dekatnya. Membandingkannya dengan minggu sebelumnya ketika ia berkunjung terakhir kali. Ada sebuah lukisan alam menawarkan kenyamanan di sebuah gubuk kecil antara sawah hijau dan ricik sungai bening. Kursi dan meja yang semula berdebu, kini bersih mengkilap.
Sementara Kartika mengambil secangkir teh untuknya, Banuayu hanyut dalam pemandangan foto keluarga di dinding. Ada dua orang perempuan dan dua orang laki-laki dalam bingkai itu. Ia tahu, itu adalah foto Kartika kecil bersama adik laki-lakinya yang mati sia-sia dan kedua orang tuanya yang meninggalkannya tanpa secarik pesan.
Banuayu yang tua, terseret pada masa silam jahanam. Suatu senja yang teramat mengerikan.
***

ajengwardhani.blogspot.com
Usianya belum genap lima belas tahun. Ia baru saja datang bermain dari rumah Halima. Ketika sampai di halaman rumah, ia melihat orang-orang berkerumun menyaksikan kedatangan perempuan mungil itu. Dari dalam rumah, tercium bau busuk menyengat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan apa yang terjadi di dalam rumahnya. Karena tidak seorang pun dari mereka yang tertarik untuk menengok ke dalam. Mereka hanya terpesona dengan bau busuk yang datang. Seolah-olah bau busuk itu memanggilnya untuk berkumpul mengadakan pesta pertunjukan kesedihan.
Di dalam rumah, Banuayu melihat ayahnya tergantung menggunakan tali jemuran. Matanya terpejam dan mulutnya berbusa, menunduk bagai patung mainan di pasar-pasar. Ibunya terkulai lemas di lantai. Sebilah pisau menghujam di perutnya. Darah segar mengalir deras menjadikan lantai penuh warna merah. Anehnya, Banuayu tidak berteriak histeris. Bahkan ketika melihat kakaknya mengambang dalam bak mandi seperti seekor ikan mati keracunan.
Beberapa saat ia berpikir tentang apa yang terjadi dengan keluarganya. Tangan siapa telah tega membunuh keluarganya tanpa mengikut sertakan dirinya sebagai salah seorang yang juga harus mati. Ia mengutuk takdir yang tidak adil karena membiarkannya hidup. Ia membuka pintu depan dengan tangannya yang halus. Orang-orang masih berkerumun dengan mulut terkunci. Hanya desau angin yang terus bertiup tak henti-henti.
Setelah puas memperhatikan wajah-wajah pucat di depan, ia melangkah ke jalan kecil yang selalu mengantarkannya bermain ke rumah Halima. Tapi kini ia memilih arah yang berseberangan dengan rumah temannya itu. Karena saat itu ia merasa kesendirian membaptisnya—tanpa tetangga, tanpa seorang taman—hingga beberapa tahun kemudian akhirnya ia tahu, jalan itu mengantarnya ke pusat kota yang penuh cahaya. Dan di bawah langit kota itulah Banuayu tumbuh menjadi perempuan sederhana namun bersahaja.
***
Perkenalannya dengan Kartika mendatangkan banyak keberuntungan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Ia ingat benar ketika pertama diajak Kartika ke sebuah bangunan remang-remang dan diperkenalkan dengan banyak lelaki hidung belang. Kecantikan dan bentuk tubuhnya yang masih pejal, menjadikan Banuayu primadona paling diharapkan para lelaki setiap malam. Sejak saat itu, ia merasa menjadi ratu kesepian dengan seribu kunang-kunang di tangan.
 “Kau ingat keluargamu yang mati dengan cara yang kejam?” Kartika yang sedari tadi tahu temannya hanyut dalam lamunan, mencegahnya agar tidak terlalu jauh memikirkan masa silam. Ia tahu, kenangan manis saja dapat membikin rambut jadi putih. Kenangan pahit, akan membuatnya kehilangan mahkota indah seorang perempuan.
“Begitulah,” jawab Banuayu pendek setelah sadar dari lamunannya. “Tapi tidak terlalu menyesal.”
Kartika melihat temannya penuh rasa bersalah. Andaikan saja ia tidak memperkenalkan Banuayu dengan Meruk, lelaki yang menjadi langganannya dan membuatnya setengah sinting, tentu Banuayu tidak akan menghadapi masa tua dengan pikiran-pikiran gila untuk pergi ke Kantor Pos setiap hari Sabtu. Mengirimkan surat berisi doa kepada alamat orang-orang yang ia temukan di mana saja. Koran-koran, kertas-kertas di pinggir jalan, atau papan iklan yang ditempel di dinding-dinding kota.
Meruk membuatnya tergila-gila dengan dalih setia kepada istrinya setelah membuat Banuayu jatuh cinta. Meruk meninggalkan Banuayu suatu malam ketika bintang-bintang mengerlip seperti kunang-kunang. Di sebuah kedai kecil pinggir kota yang tidak terlalu ramai. Memang, ia tidak pernah mengajak Banuayu tidur semalam lalu memberinya setumpuk uang tanda jasa kenikmatan. Tapi bagi Kartika, itu sebuah kejahatan yang lebih kejam daripada sebilah belati yang menikam.
Begitu banyak lelaki menjelma kunang-kunang dalam dekapan Banuayu. Mereka datang merasakan kehangatan, dan pergi untuk dilupakan. Tapi Meruk, menjelma kunang-kunang lain dengan warna lampu merah di buntutnya. Kepergiannya membuat Banuayu merindukan kedatangannya. Hingga waktu berlalu, Banuayu masih terus menunggu. Kekejaman membelenggunya sepanjang waktu.
“Istirahatlah, agar besok kau bisa pulang dengan badan segar!”
Banuayu mengangguk lalu beranjak menuju kamar kosong yang disediakan Kartika untuknya. Ketika membuka pintu dan melihat seisi ruangan, untuk pertama kali dalam hidupnya, Banuayu berteriak ketakutan. Bola lampu menjelma kepala ayahnya yang tergantung. Di atas kasur, sebuah bantal guling tampak seperti ibunya yang terkulai lemas berlumur darah kental. Dan dalam akuarium, seekor ikan mati mengambang umpama kakaknya tersayang.
Kartika bangkit dan berlari ke kamar tidur untuk menenangkan temannya. Mengajaknya ke luar dan pindah ke kamar yang lain. Setelah temannya bisa berbaring tenang, Kartika meletakkan selembar kertas kuning dari Kantor Pos yang diberikan Banuayu. Dilihatnya kotak penyimpanan penuh tumpukan kertas itu, sekitar ratusan lembar catatan alamat pernah dikirimi doa.
Keesokan harinya, Kartika sadar betapa kertas kuning yang baru semalam dimasukkan ke dalam kotak merupakan kertas terakhir yang diterimanya. Karena pagi-pagi sekali ia membangunkan temannya, namun perempuan itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda bangun lagi. Detak jantungnya berhenti bekerja—Banuayu mati dalam keadaan menunggu sambil mendoakan orang-orang yang tak pernah dikenalnya. Satu cara mati paling kejam di dunia.
***
Seminggu setelah kematian Banuayu, Kartika merasa tidak adil jika orang yang pernah dikirimi doa olehnya, tidak membalas kebaikan yang telah diberikan. Setidaknya doa harus dibalas dengan doa. Ia pun mengeluarkan kertas kuning dalam kotak dan mengirim kabar duka kepada mereka.
Tapi apalah daya. Di dunia yang kejam ini, orang-orang lebih suka lupa pada kebaikan orang lain. Berbulan-bulan, tak seorang pun dari orang-orang itu sudi datang meski hanya sekadar mengucap salam dan menabur kembang.
Hanya Meruk, tua dan renta. Lelaki yang telah menimbulkan bencana abadi dalam diri Banuayu. Suatu senja, datang sendiri. Menyiram air dan menabur kembang. Kesenyapan dan keheningan makam, sejenak hilang. Ketika lelaki itu berdoa sambil mengingat suatu malam yang penuh bintang.
“Aku tidak bisa, aku harus kembali ke rumah.”
“Tidak apa-apa. Aku akan menanti dengan tabah.”

/Yogyakarta, Februari 2014


Kamil Dayasawa, lahir di Sumenep, 05 Juni 1991. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menulis puisi dan cerpen. Di antaranya termaktub dalam antologi: Estafet (2010), Akar Jejak (2010), Memburu Matahari (2011), Sauk Seloko (2012), Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bersepeda ke Bulan (2014), Bendera Putih untuk Tuhan (2014), Nun (2015) dan Pada Batas Tualang (2015). Saat ini aktif sebagai anggota dari Komunitas Metafora-Yogyakarta. 
Previous
Next Post »
Thanks for your comment