Berkaca pada Figur Ontosoroh


Klisab Sentosa *)

Lelaki itu bernama Herman Mellema, aku tidak tau, tidak ingat, berpa lama bukit daging bersamaku karena aku tidak sadarkan diri. Aku pingsan, tetapi ketika aku siuman, aku menyadari bukanlah Sanikem yang dulu. Aku telah menjadi Nyai  (Ontosoroh)

Nyai Ontosoroh yang dulunya bernama Sanikem adalah tokoh yang di ciptakan oleh pramudiya anantatur. Di usia belia dia dijual dengan orang belanda yang amat kaya, pada saat itu sanikem tak mampu menolak situasi itu. Kini dapat kita saksikan teater sanikem yang diadaptasi dari novel Bumi Manusia yang berbau entitas Historis dimasa transisi (benih-benih hancurnya tatanan feodalisme kerajaan dan munculnya perlawanan baru terhadap kapitalisme kolonial yang bercokol). Pram ingin menampilkan karakter manusia Indonesia yang baru. Tokoh-tokohnya di dominasi oleh manusia-manusia baru (muda dan ber ilmu pengetahuaan), seperti Sanikem gadis muda yang dijual kepada adminitratur pabrik gula yang berada di tulangan, pemuda Minke pelajar HBS. Teater yang dimainkan artis ternama Happy Salma memberikan kesan tersendiri, karena yang membawa adalah artis populer yang pastinya membawa kesen tersendiri pagi publik. Walaupun di perankan oleh artis POP, akan tetapi teater ini tidak melulu berorientasi hanya pada estetika dan komersialisasi.

Kisah ini dilukiskan pada zaman kolianial, dimana perempuan masih dianggap sebagai objek dan komoditi, sanikem gadis belia yang berumur 14 tahun tak menentang ayahnya yang menjual dirinya kepada orang belanda untuk dijadikan gundik. Sanikem yang polos memendam pemberontakannya karena merasa belum mampu dan belum cukup senjata. Dari trgedi itu sanikem mendapatkan kesadaran sosialnya. Lambat laun ia mampu menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mampu mengendalikan perusahan milik suaminya Herman Melemma.



Kisah tentang nyai banyak menghiasi sastra di Indonesia, seperti Nyai Dasima, Nyai Isah, Nyai Permana. Namun citra yang ditampilkan kurang representatif sebagai karekter perempuan pribumi. Dalam kisahnya tidak mempunyai misi, hanya di tampilkan nyai yang suka gonta-ganti juragan, nyai yang gila harta. Nyai Ontosoroh berbeda dengan nyai-nyai yang lain, Ontosoroh adalah nyai yang berwibawa, konsisten memegang prinsipnya (aku akan menjadi perempuaan pertama yang akan menentang hukum kolonial), punya cara pandang maju dan tercerahkan. Bukan hanya sekedar Nyai yang menjadi objek seksual                                                                                             dan prestise sosial bagi tuan kolonial. Citra gundik yang suka selingkuh terbantahkan oleh hadirnya Ontosoroh.

Ketika masih Sanikem dia masih ber citra sebagai perempuan pribumi yang mewarisi ketertindasan adat lama yang di tanamkan oleh feodal, yang tugasnya hanya diruang-ruang domestik, tidak memiliki pengetahuan, tidak dapat bersekolah bukan hanya karena dia berasal dari keluarga miskin, akan tetapi kepercayaan masayarakat waktu itu perempuan tidak usah neko-neko karena tugasnya hanya sebagai pendamping suami, manak, macak dan nngulek sambel.

Sanikem menemukan kesadarannya karena pergaulannya dengan tuan eropanya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyerap ilmu pengetahuan dan belajar memaknai kehidupan yang tercermin dalam sikap dan prinsipnya.meminjam bahasa  Tan Malaka dia telah berhasil mencadi murid dari bangsa Eropa yang cerdik. Dalam cerita ini dia menghadapi konflik yang terjadi didalam rumah tangga yang menjalar keranah hukum kolonial, dia didampingi menantu (Minke) pelajar HBS yang berpihak pada dirinya, Anellis kembangnya Surabaya, dan tentunya Darsam jagoan dari Madura. Di pihak lain ada Herman, Robet yang tidak menyukai orang pribumi dan Maurist anak dari Herman dengan ibu Belanda, dia datang untuk mengambil alih seleruh kekayaan Herman yang dihasilkan berkat kerja keras Nyai Ontosoroh. Perjuangan dalam keluarga ini mengajarkan banyak hal tentang kemunafikan peradaban Barat.

Setidaknya ada tiga alasan Nyai melakukan perlawanan. pertama terhadap nasib sebagai gadis yang terjual dan menjadi nyai; ke dua terhadap kemunafikan dan kedzaliman dalam rumahnya sendiri; ke tiga terhadap sistem dan hukum konial. Bagi Nyai perlawanan adalah prinsip, terlepas nantinya akan menang atau tidak. Melawan ketidak adilan adalah sebuah kehormatan (kita sudah melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya). Prinsip itu juga yang mengispirasi menantunya (Minke) yang nantinya dia juga akan menentang latar belakangnya sendiri, dengan senjata tulisan dan kekuatan rakyatnya sendiri.

“kita kalah. Kita telah melawan, nak, nyo, sebaik-baiknya sehormat-hormatnya!” (Bumi Manusia)

Ahirnya pengalan kehidupan Sanikem alias Nyai Ontosoroh ini ternyata bisa menjadi penggerak orang berdiri tegak dan membangun karakternya, dengan mendapatkan pengetahuan dari musuhnya untuk membangun dirinya. Dari sinilah kita dapat belajar karakter (karakter building); kisah yang dapat kita petik sebagai pelajaran di zaman sekarang ini, sosok pribumi yang tidak mudah silau dengan kemegahan eropa, karekter Ontosoroh layak kita jadikan kaca di zaman pesta kemewahan ini.

Bukan sekedar pelengkap

Perempuan bukanlah sekedar pelengkap dalam kehidupan, sepanjang sejarah peradaban manusia, peran kaum perempuan, termasuk ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahirnya generasi-generasi bangsa yang unggul dan kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu.

Ibulah, sosok perempuan yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan ketrampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak. Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, '"pusat" pembentukan nilai, penafsiran makna kehidupan, tak seorang pun menyangsikannya.

Dan di era globalisasi saat ini yang setidak-tidaknya menawarkan tiga iklim, yakni, perdagangan bebas, hadirnya teknologi komunikasi yang mahadahsyat, dan keterbukaan gelombang informasi. Kenyataan perkembangan ini, memang tidak mungkin lagi memasung kaum ibu dalam kungkungan rumah tangga. Mereka juga dituntut untuk memberdayakan potensi dirinya, mewujudkan need of achievement (kebutuhan akan prestasi), dan mengaktualisasikan motivasi intelektualnya.

Dalam novel Bumi Manusia, perumpuan yang ditampilkan Pram lewat karakter Ontosoroh yang memeliki jiwa perlawanan. Selain itu dia juga tampil sebagai sesosok ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi orang yang mempunyai karekter dan mampu memegang prinsip. Prodak yang dilahirkan Ontosoroh adalah sosok Minke pelajar HBS mendapat pelajaran sangat berharga ketika dia mulai dekat dengan Ontosoroh, pelajaran yang lebih nyata di banding sekolahnya yang hanya mengajarkan teori.

Sebagai Istri dia mampu mengerjakan pekerjaan yang tak lazim dilakukan perempuan pada saat itu, dia memanegemen perusahaan sampai bener-bener maju pesat, selain itu dia juga mampu mendidik anaknya anallis, ilmu yang dia serap dari suaminya berhasil ia praktekkan dengan baik, dia pandai mencari partner dalam hubungan pekerjaaan, mengembangkan perusahaan sampai-sampai peran sang suami tiba-tiba tenggelam dan terlarut dengan dunia gelapnya.
“Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor macam apa yang ia bisa? “Administrasi tanyaku mencoba-coba. “Semua. Buku, dagang, surat-menyurat, bank...” (Bumi Manusia)

Dari ruang domestik sanikem tumbuh dan berani keluar di ruang publik, ketika dia terpaksa menjalani persidangan dia dengan lantang menjawab dan menampik tuduhan-tuduhan yang di lakukan oleh hakim kepada dirinya, anaknya, dan menantunya, walaupun mereka tidak ditemani pengacara. Dengan tekat yang kuat dia mengatakan “akulah perempuan pribumi pertama yang akan menentang hukum kolonial Barat. Suatu hal yang tak lazim, karena tatanan yang didominasi laki-laki belum mampu menggoyahkan kekuatan kolonialisme.

Sebagai ibu dia mempercepat kesadaran perjuangan Minke, sebagaimana Ibundanya Gorky juga mendukung dengan keharuaan dan keagungan hati pemuda-pemudi yang berjuang membela kaum buruh di pabrik-pabrik kumuh dan merencanakan gerakan sosial, perjuangan Pelagia Vlassov membela keadilan hidup kaumnya. Dengan umurnya yang sudah tua, ia mampu melahirkan aksi-aksi revolusioner. Ia melanjutkan gerakan-gerakan yang dimulai oleh anaknya tanpa menyerah. kaum permpuan dapat memetik pelajaran bahwa bagaimanapun semua orang, laki-laki maupun perempuan, harus berpartisipasi dalam perjalanan sejarah. Partisipasi aktif dan berprinsip, bukan pasif dan di korbankan.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment