Tak Ada Ujung Kemerdekaan

(Sebuah catatan dari novel “JalanTak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis)

Suasana kehidupan pasca kemerdekaan adalah suasana getir dan menegangkan. Tidak ada ketenangan dalam keseharian. Para pemuda pejuang kemerdekaan masih berkeliaran di tempat-tempat tertentu. Mereka berjaga kalau Belanda hendak menguasai kembali negeri Indonesia. Karena kemerdekaan adalah harga mati bagi bangsa ini. Meskipun pelopor utama di dalamnya adalah para pemuda saja. Orang yang memiliki darah mendidih karena usianya atau karena semangat nasionalismenya yang luar biasa tinggi.

Tokoh Guru Isa adalah sosok yang sangat lembut. Seorang yang selalu ramah dalam bertingkah. Tidak menyukai kekerasan, perkelahian, terlebih letusan tembak. Sosok Guru Isa adalah sosok Guru yang sangat tulus mendidik generasi bangsa. Sosok yang memiliki kehangatan dalam berumah tangga. Sosok yang sabar dalam kemelaratan dan kemiskinan. Setiap waktu, yang tergambar dari wajahnya adalah cahaya cerah yang muncul dari matanya yang teduh dan senyumnya yang tergores indah.
Berbeda dengan Guru Isa, Hazil adalah seorang pemuda yang berdarah-darah dalam bersikap. Seorang yang semangat dalam memperjuangkan kemerdekaan. Baginya, kemerdekaan tidak bisa ditawar dengan harga apa pun di dunia ini. Ia memiliki keberanian yang luar biasa dalam mengambil sikap. Mungkin, mati atas nama negara adalah kehormatan baginya. Hazil adalah anggota dari kelompok pejuang kemerdekaan yang senantiasa siap membela negara dari orang asing yang akan menjajah negaranya. Barangkali, pemuda seperti inilah yang diharapkan Soekarno untuk bisa mengguncang dunia.

Dalam novel ini, Mochtar Lubis mengambil setting zaman pasca kemerdekaan. Sebuah catatan sejarah yang penting untuk disimpan. Karena sejarah harus selalu dilestarikan dalam khasanah kehidupan. Sebagai upaya mengomparasikannya dalam perencanaan kehidupan masa yang akan datang.
Novel ini memberikan sebuah catatan masa silam tentang keadaan Negara Indonesia yang buram. Tentang kehidupan pasca kemerdekaan yang sangat getir. Di mana begitu banyak para pejuang kemerdekaan yang ditangkap dan dibunuh. Tentara Belanda masih sering berkeliaran dan memorak-porandakan tempat-tempat umum semaunya. Menembak mati siapa saja, entah bersalah atau tidak.

Di samping itu, tokoh Guru Isa yang tidak suka terhadap bentuk kekerasan, selalu terganggu dunia psikologisnya ketika mendengar letupan senapan dari tangan tentara Belanda. Ia sudah kehilangan kelelakiannya –dalam hal kekerasan—sejak bertahun silam. Kalau mendengar suara letupan senapan, Guru Isa selalu bergetar. Tubuhnya seketika terasa dingin dan pucat.

Hingga akhirnya, Hazil, pemuda yang selalu memiliki keberanian seperti harimau, ditangkap Belanda. Disiksa dan dimasukkan ke dalam jeruji besi. Karena tidak kuat menahan siksaan, Hazil pun berkhianat. Dan Guru Isa pun ikut terseret oleh sebuah peristiwa pengeboman di sebuah tempat keramaian. Guru Isa ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara bersama Hazil. Maka pada akhirnya, jalan tidak akan ada ujungnya setelah kemudian Guru Isa dibebaskan. Karena kehidupan, kemerdekaan tidak memiliki ujung yang pasti. Semuanya selalu harus diiringi dengan perjuangan.

Novel ini menyelami hakikat kemerdekaan. Setelah peristiwa 17 Agustus 1945, benarkah kemerdekaan telah dimiliki oleh Indonesia? Mochtar Lubis mengajak pembaca untuk lebih dalam memasuki substansi dari kemerdekaan itu sendiri. Bahkan hingga hari ini, kemerdekaan itu masih penting untuk kembali direnungkan. Ketika bangsa ini miskin, pengangguran menjamur, dunia politik carut-marut, prostitusi tidak mendapatkan perhatian, anak jalanan terlantar, pendidik yang menjadikan profesi sebagai jalur bisnis, peserta didik yang memisahkan diri dari lingkungannya, cendekiawan yang hidup hanya untuk dirinya sendiri, dan kapitalisme mengancam dari banyak sektor kehidupan Indonesia.

Barangkali, kalau secara de facto dan de jure, indoneisa merdeka itu sekadar sisi prosedural. Secara lebih mendetail, negeri ini belum bertindak maju menuju kemerdekaan yang sebenarnya. Ini dapat dilihat dari realita korupsi elit politik yang merajalela. Kaum miskin yang semakin terpinggirkan. Maka, sampai saat ini kemerdekaan itu masih dalam perjuangan. Dan selamanya akan tetap terus berada dalam jalur perjuangan, karena Jalan Tak Ada Ujung.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment