Awas Bahaya Latin "Komunis"

Luthfi ‘Afif*)

Sejarah terbentuknya negara Indonesia di kreatori oleh berbagai macam kalangan, salah satunya adalah kalangan komunis. Komunis yang lahir dari rahim serikat islam, yang mempenyai nyawa perjuangan dari para buruh dan petani membuat kekuasaan kolonial belanda merasa terancam. Langkah yang dilakukan Belanda waktu itu dengan membubarkan PKI dan pengasingan di Didigul, pada era kemerdekaan PKI muncul kembali, dan setelah kejadian Madiun PKI mendapat teguran pemerintah namun tidak dilarang untuk melakukan aktifitas-aktifitas politik sampai pada ahirnya partai tersebut mendapat dukungan massa yang banyak.

Dari sketsa perjalanan sejarah yang dilalui komunisme di Indonesia mengalami perjalanan yang sangat unik sebab mereka selalu mempunyai daya tarik untuk Come back. Mungkin itulah yang di takutkan oleh orang-orang yang memasang bener “awas bahaya latin komunis”, bukan hanya memasangan bener saja untuk menanggulangi kemungkinan come back komunisme, berbagai upaya dilakukan, seperti pemberangusan buku, pembubaran diskusi, simposium yang dilakukan oleh extapol, pembubaran festifal belok kiri. Namun pertanyaannya siapa yang sebenarnya takut pada komunisme ?. Dan apa yang ditakuti dari komunisme?. Tulisan ini akan mencoba menguraikan pertanyaan tersebut , karena banyak berbagai kejadian yang intoleransi, pemberangusan buku salah satunya, sebagai upaya pemusnahan memori yang terakam dalam buku.
imajikata.riftom.com

Maraknya razia terhadap buku-buku atau pelarangan terhadap diskusi akademis hingga simbol-simbol yang diafiliasikan dengan komunisme dan PKI, merupakan respons atas niatan rekonsiliasi tersebut. Munculnya respos keras itu bisa dipahami karena upaya penuntasan terhadap kasus yang telah lama menjadi memori kelam bangsa tersebut memang tidak mudah. Namun ketika pelaksanaan dilapangan dengan cara yang kurang beradab akan menyulut konflik, padahal seharusnya pemerintah harus memberikan hak ber ekspresi dan berpendapapat yang telah diamanatkan oleh konstitusi.

Baik, coba kita lihat sikap para elit untuk mengetahui siapa yang sebenarnya takut komunisme.  Mulai dari reaksi keras kalangan purna wirawan mantan tinggi TNI dan mentri pertahanan Ryamizard Ryacudu  yang tidak seetuju dengan simposium yang dilakukan oleh para ekstapol yang dinilai tidak akomodatif. Begitu juga para polisi juga ikut aktif dalam melakukan swiping ditoko-toko buku untuk meredam buku yang bermaterikan komunisme. Namun hal ini berbeda dengan sikap pejabat tinggi negara yang mencoba memberi ruang terhadap para korban 65. Kontra sikap terlihat jelas ketika pihak kepolisian gencar melakukan pembredelan yang konon diinstruksikan oleh presiden, namun, belakangan presiden menegaskan agar aparat menghentikan represi dan menyatakan kebebasan berpendapat harus menjadi prioritas.

Dari rentetan kejadian diatas sebenarnya cukup terang untuk mengetahui siapa sebenarnya yang takut. Karena merekalah yang membuat pertentangan sejarah pembantai yang memakan ribuan manusia. Dan merekalah yang membuat jimat untuk mengkonter komunisme kembali lagi, dengan menggunakan ketetapan MPRS nomer XXV tahun 1996 tentang pelarangan Partai Komunis Indonesia, Marxisme, Leninisme, dan komunime bentuk apapun.

PKI adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan pergerakan bangsa. Jika sejarah pergerakan bangsa diingat lagi, terlihat bahwa PKI, atau setidaknya aliran komunisme dan sosialisme telah sejak semula memberi warna radikalis politik pergerakan kebangsaan. Pesona radikalisme yang di tampilkan memberi dua hal. Pertama perjuangan kerakyatan dengan slogan “sama rata sama rasa”. Kedua peranan utama ideologi sebagai cita-cita dan pandangan politik yang sistematis. Dari hal itulah komunisme sangat ditakuti. Pemerintahan kolonial belanda yang pada tahun 1930 memperkenalkan politik rust en orde (ketenanngan dan ketertiban), yang antara lain untuk menentang aktifitas partai yang radikal, membuang para pemimpin terkemuka, dan memperketat presbreidel, pelarangan rapat-rapat politik. Hal yang sama juga diterapkan oleh pemerintahan orba untuk mecounter komunisme bahkan lebih bengis lagi dengan memusnahkanya.

Geng Orba yang dimotori AD untuk memasukkan Supersemar dalam TAP MPRS No 9 tahun 1966. Tap ini kemudian dijadikan landasan bagi Soeharto untuk menyatakan bahwa secara konstitusional Soekarno tidak lagi memegang jabatan sebagai presiden. Selang waktu berjalan kekuasan Orba mulai runtuh, pada saat Indonesia dipimpin oleh presiden ke IV pernah ada wacana untuk mencabut TAP MPRS tersebut ini karena telah dianggap usang alias out of date, dan alasannya paling fundamental adalah kemanusiaan. Akan tetapi tidak banyak orang berani berubah. Sepanjang april 2000, Gus Dur banyak menerima tekanan dari berbagai pihak, seperti MUI, Parpol (Partai Bulan Bintang) yang menyatakan penolakan kerasnya terhadap Gus Dur. Massa FUII bahkan menggelar aksi di sepanjang jalan Medan Merdeka Utara waktu itu.

“Dewasa ini, para akademisi dan sejarawan menganggap bahwa dasar pertimbangan TAP MPRS no 25 tahun 1986 ini dianggap tidak logis dan terkesan berat sebelah. Fakta yang ditonjolkan dalam proposisi yang menjadi dasar pertimbangan hanya tuduhan bahwa PKI telah beberapa kali telah menjatuhkan pemerintahan RI dengan jalan kekerasan”, kata Mustofa Bahri, dosen hukum Tata Negara UI.

Sehingga, dari banyak diskusi yang terjadi setelah era keterbukaan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa TAP MPRS No 25 1966 ini cacat hukum dan inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Supersemar yang menjadi dasar kemunculannya. Sementara, Marxisme dan Leninisme yang diannggap bertentangan dengan pancasila adalah alasan yang dicari-cari dan mengada-ada. Padahal, Bung karno telah membuat rumusan pancasila dari ideologi terssebut yang diramu dengan Declaration of Independencenya Amerika. Semua sudah tercantum di Pancasila kita.


Ingatan masa lalu yang memilukan memang menjadi beban ingatan yang harus segera diselesaikan, agar gerak menuju ke masa depan tidak terbayang-bayangi oleh luka masa lalu. Ingatan yang mengerikan memang bukan untuk di benci akan tetapi harus di selesaikan. Menurut sebagian orang, mengatakan hasil kesimpulan dari pernyataan tuntutan para extapol kurang akomodatif, karena hanya menelisik pada era 65 dan kebengissan regim orba. Mereka tidak melihat apa yang ia lakukan pada peristiwa sebelumnya. Upaya menuju jalan rekonsiliasi memang menuai banyak pro dan kontra, namun janganlah diperkeruh dengan aktifitas-aktifitas yang kurang beradab. Ingat bangsa kita terkenal dengan toleransinya, keramahannya, pemurah—samapai-sampai negara lain kaya dengan mengekploitasi sumber daya alam kita menjadi miskin woles aja—jaadi upaya penyelesaiannya harus secara bijaksana.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment