Asal-usul Budaya Popular pada Sistem Politik dan Elite Kapital dalam Kompetisi Era Pasar Global

M. Royhan

Kekaburan Batas Dunia Barat Dan Timur

Dua kutub peradaban dunia Barat dan Timur dalam kancah dunia, menunjukan sejarah panjang yang saling bersinggungan. Berbagai peristiwa sejarah yang terjadi dari kedua kutub tersebut menjadi pandangan tersendiri bagi masyarakat. Umumnya pandangan masyarakat Timur terhadap Barat selalu dikaitkan dengan soal kolonialisme. Adanya tuduhan Barat sebagai penjajah mungkin karena dampak psikologis trauma masa lalu yang dialami masyarakat yang terjajah, terlebih mayoritas berlatarbelakang sosial budaya Timur. Dalam hal ini,  penamaan dunia Timur umunya di istilahkan sebagai wilayah yang ditempati sebagian besar umat Islam, sedangkan dunia Barat dikaitkan dengan agama Kristen dan Yahudi. Menurut guru besar sejarah, prof Azyumardi Azra menyebutkan bahwa dari sisi sejarah, adanya batasan antara dunia Timur dan Barat sebenarnya adalah produk era kolonialisasi yang di gagas dunia Barat, yang bertujuan mengintervensi politik, ekonomi dan budaya peradaban Timur seperti Asia dan Afrika. Ia juga menambahkan bahwa, gerakan kolonialisasi yang di dukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu kemudian mengarah pada konteks industrialisasi.

Serangkaian peristiwa yang terjadi baik dunia Barat maupun Timur di awal era kolonialisasi hingga saat ini memiliki karakteristik sejarah dan kepentingan yang berbeda. Ketika masa kolonialisasi, motif Barat dalam menguasai dunia Timur dinilai banyak menimbulkan konflik bahkan peperangan. Akan tetapi saat ini keduanya justru bersaing lebih dekat tanpa ditakutkan lagi adanya kontak penjajahan secara frontal. Masyarakat tidak lagi merasakan trauma masa lalu sebagai pihak yang terjajah. Kini dunia Barat dan Timur saling berhubungan, bekerjasama dalam melakukan berbagai aksi perdamaian mengenai isu-isu dunia, bersaing dalam mencari kesempatan kerja, maupun pendidikan. Terlebih orang-orang kini semakin mudah berkomunikasi baik secara lokal maupun internasional. Mudahnya orang-orang mengakses informasi melalui jejaring sosial maupun website tanpa mengenal batas geografis maupun etnis. Orang-orang Timur mulai menetap sebagai warga negara Eropa begitupula sebaliknya. Menurut Radhakrishnan dalam bukunya Eastern Religion and Western Though (1924) menyatakan “untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, kesadaran akan kesatuan dunia telah menghentakkan kita, entah suka atau tidak, Timur dan Barat telah menyatu dan tidak pernah lagi terpisah”.
www.compusiciannews.com


Kenyataan meleburnya batasan dunia Barat dan Timur bukan berarti tidak menemui persoalan. Di era globalisasi yang kini sedang berlangsung, barangkali menjadi perhatian penting baik dunia Barat dan Timur sekaligus sebagai kajian kritis, mengenai tumbuh berkembangnya era globalisasi dari masa ke masa. Konteks globalisasi umumnya berkaitan dengan masalah ekonomi, ketika masa industrialiasasi di Eropa, persoalan ketidakmerataan di sektor ekonomi menimbulkan berbagai polemik dan melahirkan gerakan masyarakat yang menentang para elite kapital. Dampak ketidakmerataan ekonomi tersebut menimbulkan persoalan yang lebih kompleks yang dinilai merusak tatanan sosial masyarakat Eropa. Kaum elite birokrat maupun bangsawan pada waktu itu menerapkan aturan sepihak yang banyak merugikan kaum buruh maupu pengangguran. Masa industrialisasi itu pada akhirnya menuai berbagai gerakan revolusi di berbagai negara-negara di Eropa. Pada masa ini pula kepentingan ekonomi pasar yang membludak, berimbas melemahkan sektor produksi tradisional yang kemudian mulai ditinggalkan, keadaan ini pula yang menyebabkan orang-orang Eropa berinisiasi untuk berdagang ke berbagai wilayah di dunia.

Adanya hubungan dan dominasi antara kedua kutub tersebut salah satunya mengenai pasar global yang berlangsung sampai hari ini, menunjukan bahwa hubungan negara berkembang, negara dunia ke 3 dan negara maju saling membuka peluang untuk bekerjasama dalam aktivitas perdagangan internasional. Di Indonesia misalnya, telah banyak perusahaan asing yang tersebar  diberbagai daerah seperti Freeport, Exxon Mobil, McDonald, Pizza Hut, KFC dan masih banyak lagi lainnya. Situasi ini menunjukan bahwa secara ekonomi jalinan pemerintah dengan negara asing telah membaur. Adanya integrasi pasar ekonomi tersebut bukan hanya di Indonesia, tetapi tersebar di berbagai negara dunia. Relasi pasar global tersebut terjalin dengan sedemikian rupa melalui serangkaian kerjasama berbagai pihak. Akan tetapi adanya relasi ekonomi global apakah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat apakah pasar global tersebut lebih memihak dunia Barat ataukah Timur.

Realisasi adanya kompetisi pasar global pada kenyataannya lebih cenderung di kuasai Barat. Namun demikian, dominasi Barat bukan hanya terhadap dunia Timur seperti di Indonesia, dampak penerapan pasar global menjadi boomerang bagi benua biru itu sendiri. Baru-baru ini kasus di Uni Eropa dan Yunani di sektor perekonomiannya mengalami krisis akibat hutang terhadap bank dunia. Menurut pengamat ekonomi dari Inggris Shabbir Razvi menyatakan bahwa permasalahan ekonomi di benua Eropa disebabkan perlakuan dari politisi yang korup. Pandangan sistem kapitalisme yang di lakukan oleh para bankir dinilai merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan. Para bankir ini memanfaatkan para politisi sebagai pelindung bagi kebutuhan mereka yang dinilai rakus. Mereka mengejar gaji yang semakin tinggi dan bonus yang banyak tanpa memikirkan dampaknya terhadap masyarakat. Menurut Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, akibat adanya praktek kapitalisme Barat adalah biang kehancuran ekonomi secara global. Pengamat ekonomi menilai sistem pasar global melahirkan iklim penyatuan bahkan penundukan sektor ekonomi seluruh negara di dunia. Kasus di Uni Eropa dan Yunani adalah bukti adanya penerapan para elite ekonomi swasta Barat kedalam tatanan sistem perekonomian dunia. Praktek capitalisme yang didukung para birokrat sebagai pelindung, memudahkan relasi pasar ekonomi antar negara di dunia. Para pengamat ekonomi Barat berpendapat bahwa para bankir Barat menciptakan suatu iklim hierarkis penghambaan pada sektor ekonomi yang berdampak melemahkan perekonomian negara dunia.

Pada awal abad 19 elite kapital menekan sistem negara agar bertugas hanya mengurusi kepentingan umum. Negara tidak diperbolehkan untuk ikut campur dalam urusan perekonomian bangsa, sehingga pasar berjalan dengan bebas. Pada masa ini, pula pengaruh paham liberalisme berkembang yang kemudian menjadi konsepsi pemerintahan. Paham liberalisme mempengaruhi konsepsi hukum pemerintahan sebagai alat yang hanya mengatur perekonomian dan kepentingan korporasi semata. Dampak tersebut menimbulkan kekacauan tatanan ekonomi masyarakat, hingga munculnya pemberontakan dari para kaum buruh dan pengangguran menuntut kemerdekaan. Usaha tersebut berhasil dilakukan hingga mengakhiri dominasi kapitalis liberalisme.

Dominasi Barat terhadap pasar ekonomi dunia pada puncaknya setelah perang dunia kedua di abad 20. Bentuk kapitalisme pada masa ini lebih terorganisir. Adanya pengaruh dan kecaman kapitalisme liberal dahulu mendorong agar merubah sistem pemerintahan bertanggung jawab penuh terhadap nasib warga negaranya baik ekonomi maupun sosial. Masa kapitalisme di abad 20 ini mengharuskan kondisi pasar bebas tetap dikendalikan oleh hukum negara. Jaminan kesejahteraan ekonomi sosial masyakarakat oleh pemerintah ini kemudian menciptakan konsepsi negara kesejahteraan. Periode kapitalime pada masa ini menurut Aguste Comte adalah zaman positivisme di negara-negara utama capital. Pengaruh era positivisme pada akhirnya merubah konsepsi hokum berdasarkan saintifikasi hukum modern. Hal tersebut bertujuan agar pemerintah menjamin kebebasan pasar ekonomi yang semakin kompetitif. Namun demikian kebebasan pasar yang dijamin pemerintah tersebut tidak berjalan efektif. Perubahan sosial dan permasalahan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat akibat pemberlakuan sistem kapitalisme liberal dahulu belum tuntas dan mengalami puncaknya sebelum terjadi perang dunia kedua. Peristiwa itulah yang kemudian mendorong para elite negara inti capital kemudian menciptakan gagasan perdagangan bebas yang bersifat multilateral.

Pada tahun 1947 pembentukan General Agreemen Tariff and Trade (GATT). Pembentukan GTT diprkarsai oleh PBB yang akhirnya merancang piagam Havana mengenai pemberlakuan tariff perdagangan internasional. Namun pemberlakuan tersebut di tentang oleh salah satu negara inti capital yakni Amerika. Negara Amerika memaksakan undang-undang globalisasi ekonomi level dunia. Prinsip dasar GATT sebelumnya melenyapkan aturan mengenai proteksi dan monopoli perekonomian negara-negara persemakuran Inggris dan negara-negara bekas Uni Soviet. Pemberlakuan sistem undang-undang internasional yang di gagas Amerika kemudian berhasil membentuk  WTO (World Trade Organization) Pada tahun 1994 di Punda d’el estr Uruguay. WTO sebagai organisasi yang mengawasi perdagangan internasional, serta mencakup bidang perdagangan jasa hingga yang berkaitan dengan hak milik intelektual suatu negara. Sistem perdagangan bebas internasional dalam kerangka perdagangan multilateral WTO mulai diterapkan para dominasi kapitalisme Barat. GATT secara resmi dibubarkan dan digantikan dengan WTO pada 1 Januari 1995 hasil perundingan di Uruguay, pemberlakuan perdagangan bebas multilateral dalam organisasi WTO disepakati 117 negara.

Dalam kurun sejarah, transisi dari pranata pra-kapitalis ke rejim kepemilikan pribadi kapitalis terjadi ketika adanya perjanjian Westapalia tahun 1648. Saat itu, Rejim ekstraksi politik dan ekonomi berganti jadi eksploitasi material non-koersif (Teschke, 2012: 143). Puncaknya ketika terjadi revolusi Inggris yang berimbas munculnya para pemilik modal baik dari kalangan birokrat maupun para kapitalis. Penderitaan yang dialami masyarakat sebagai buruh pabrik di Inggris memprihatinkan, undang-undang yang dibuat para kaum elite Inggris memberangus semua wujud terakhir paternalisme feodal dan melepaskan kaum miskin di segenap penjuru Inggris dari ikatan tradisional, termasuk dari perlindungan sosial” (Polanyi, 2001: 84) Hasil dari sentralisasi dan barang-barang produksi berada di tangan para golongan elit sepenuhnya.

Hasil pengumpulan barang dan teknologi produksi itu kemudian disebarkan ke barbagai penjuru di Eropa dan Amerika. Tujuan penyebaran adalah mereplikasi pranata kapitalisme dan teknik dalam produksi. Alhasil dari penyebaran tersebut kemudian melahirkan pemilik modal baru yang pada puncaknya mereka menyebar luas ke berbagai penjuru dunia. Dalam hal ini, persaingan dari para Kompetitor modal sudah pada level internasional yang kemudian melahirkan masa kolonialisasi ke berbagai negara-negara di dunia. Dalam Manifesto Partai Komunis, Marx dan Engels mengatakan, “kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang, hasilnya mendorong penyebaran borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, berusaha di mana-mana, mengadakan hubungan di mana-mana”. (Marx and Engels 1998, 39)

Adanya pemberlakuan dari teorisasi marxis dalam menyatukan konsep politik dengan hubungan internasional berkembang dan diteruskan oleh para sarjana-sarjana barat. Realisasi dari para pendukung teori marxis dalam mengembangkan metode materialism historis dengan studi Hubungan Internasional merupakan langkah awal dalam memahami situasi dan kondisi geopolitik suatu negara dengan mewujudkan paham ekonomi berdasarkan kepemilikan modal pribadi atau swasta, yang tujuan untuk bersaing di pasaran bebas. Teoritisasi Hubungan Internasional Marxis dimulai oleh Fred Halliday dan Justin Rosenberg (1994). Para perintis teori marxisme politik pada perkembangan selanjutnya berupaya menggabungkan teori politik dan hubungan internasional. Melalui penggabungan teori  tersebut bertujuan bagaimana Marxisme Politik melihat hubungan internasional.

Sistem ekonomi terpusat yang di gagas para sarjana-sarjana marxis di Barat dahulu menciptakan suatu iklim hierarkis penghambaan terhadap pemilik modal terbesar. Menurut padangan sarjana Hubungan Internasional, Morgenthau dan Friedrich Kratochwil, titik awal pengembangan teorisasi politik internasional ketika adanya perjanjian Whestapalia pada tahun 1648. Hasil perjanjian tersebut negara harus terikat pada batas territorial yang ketat, otonomi dan pengakuan atasnya dari negara lain. Di lain hal kondisi sosial masyarakat pada masa itu terikat pada sistem dinasti feodalistik. Pada puncaknya ketika revolusi industry di Inggris dan sebagian besar wilayah Eropa Barat melahirkan  kaum elite capital yang kemudian menerapkan sistem  parlemen dan undang-undang kepemilikan pribadi terhadap barang dan lahan warga.

Ketetapan undang-undang tersebut semakin memperkuat posisi kaum elite kapital secara bebas mengeksploitasi lahan-lahan warga secara brutal. Filsuf Michel Foucault mencatat “kepemilikan menjadi kepemilikan absolut: semua ‘hak’ yang ditoleransi, yang telah diperoleh atau dipelihara kaum tani selama ini sekarang ditolak” (Foucault, 1978: 85). Peristiwa inilah yang diyakini sebagai titik awal munculnya kapitalisme di Eropa. Kontrol atas sarana produksi dipegang penuh oleh penguasa. Negara tidak lagi memiliki ototritas secara langsung terhadap sektor produksi. Frederick C. Howe dalam bukunya berjudul Confessions of a Monopolist. Ia menuliskan "Inilah aturan dari bisnis besar. Aturan ini menggantikan ajaran orangtua kita dan dapat disingkat menjadi sebuah aturan sederhana, yaitu Dapatkanlah monopoli, biarkan Masyarakat bekerja untuk Anda, dan ingatlah bahwa bisnis yang terbaik adalah politik, karena izin legislatif, waralaba, subsidi atau penghapusan pajak jauh lebih berharga dibandingkan berlian dan perak, karena tidak memerlukan usaha, baik rohani maupun jasmani, saat digunakan." .

Banyak ahli ekonomi baik dari Barat maupun Timur mengkaji persoalan globalisasi serta dampak yang ditimbulkannya. Di Indonesia khususnya persoalan globalisasi menuai berbagai polemik tersendiri bagi masyarakat, baik dari sisi kultural maupun ekonomi secara luas. Penerapan sistem globalisasi Barat secara cultural melahirkan budaya pop atau gaya hidup kebarat-kebaratan hampir diseluruh daerah pelosok negeri. Seperti baru-baru ini adanya tuntutan legalitas bagi komunitas LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender) kepada pemerintah banyak menyita perhatian berbagai kalangan masyarakat. Selain itu perkembangan teknologi komunikasi seperti media televisi yang berpengaruh terhadap sisi psikologis manusia. Tayangan televisi memvisualisasikan berbagai ideology yang bergantung pada kepentingan industry televisi tersebut dalam rangka meraup keuntungan pasar di dunia maya. Para pegiat Marxis menyebutkan “… nilai-nilai yang menguntungkan orang-orang yang menjalankan masyarakat, tentang ide-ide yang berkuasa sepanjang masa merupakan hasil dari ide orang yang berkuasa…” (John Storey, 2003). Adanya realisasi era globalisasi menciptakan masyarakat yang cenderung hedonis dan konsumtif. Kondisi ini tidak lagi dianggap hal yang aneh bahkan sudah menjadi karakter sebagian besar masyarakat. Zaman modern yang mengarah pada konteks industrialisasi, menciptakan pola hidup masyarakat yang bergantung pada sistem kerja industry. Sehingga adanya perubahan sosial masyarakat yang dahulu mempertahankan tradisi nilai-nilai sosial budaya tanpa terikat sistem kerja, kini mulai terkikis bahkan mulai beralih pada kebudayaan baru yang dianggap lebih atraktif.

Selain sisi cultural, kebutuhan ekonomi sebagai sektor penting dalam kehidupan masyarakat telah diatur sedemikian rupa melalui sistem pasar. Era globalisasi yang sedang berlangsung menciptakan kompetisi barang produksi suatu negara untuk dipasarkan baik secara lokal, regional, multilateral antarnegara. Pemberlakuan sistem pasar global menuntut kerja sama diantara birokrat dengan elite kapitalis internasional. Kini seolah pasar bisnis selalu dicemarkan nama baiknya dan dunia kini selalu didorong menuju perencanaan paham-paham sosialis yang cenderung kurang efisien sebagai akibat dari berbagai manuver monopoli yang sistematis dan mapan baik di dunia politik maupun adanya revolusi itu sendiri.

Dalam konteks ekonomi di Indonesia maupun geopolitik, kenyataannya telah lama berkiblat ke Barat, terutama ketika awal masa kemerdekaan bahkan telah mengakar sejak sistem elite capital dalam kerangka perdagangan multilateral WTO (World Trade Organization) maupun IMF (International Monetery Fund) dijalankan. Akan tetapi hal tersebut bukan tanpa perlawanan, serangkain upaya dalam membendung dominasi Barat telah dilakukan di masa pergerakan nasional. Selain itu, Indonesia sebagai negara yang multicultural yang mengedapankan asas pacasila dalam konsepsi sistem politik pemerintahan, perlu adanya perlawan yang memadai terhadap penerapan sistem globalisasi Barat. Kekuatan dan hegemoni kapitalisme-neoliberal adalah tantangan yang harus di lawan secara progresif nasionalistik bagi segenap rakyat Indonesia.


Asas pancasila yang mendepankan kepentingan semua golongan masyarakat di Indonesia merupakan kerangka tandingan dalam melawan sistem pasar di era globalisasi. Dalam konteks jumlah dan kultur masyarakat yang berlatarbelakang umat Islam, asas pancasila merupakan kelas. Pemerintah harus bersinergi dengan masrakyat dalam menyelesaikan persoalan sosial, ekonomi dan budaya yang bertujuan mengubah sistem alternatif yang menjamin kesejahteraan dan berkeadilan.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment