Kamil Dayasawa *)
(Catatan terhadap cerpen: "Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya" karya Martin Aleida, Kompas, 14 Juni 2015)
Ingatan tentang kehidupan para tahanan masa Orde Baru memang selalu menarik untuk kembali diangkat sebagai wacana. Bagaimanapun juga, masa yang penuh dengan kekejaman rezim itu, ikut serta memberi warna yang cukup kontras bagi bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi relevan karena hingga saat ini, efek Orde Baru masih terus saja terasa. Mantan tahanan yang telah dicoreng mukanya oleh tentara karena dituduh sebagai benalu bagi pohon kehidupan di Indonesia, hingga saat ini tentu masih menyimpan kegeraman akan penindasan tak kenal perikemanusiaan tersebut. Meskipun saat ini banyak upaya membuat generasi baru amnesia terhadap sejarah berdarah tak kenal ampun di masa lalu, sangat tepat waktunya bagi generasi baru bangsa ini untuk ikut merasakan fenomena sejarah kelam dan menakutkan rezim Orde Baru.
Martin Aleida, seorang cerpenis ulung yang gemar mengangkat tema konflik berdarah tahun 60-an, kembali mengingatkan khalayak publik pembaca Indonesia lewat cerita pendeknya yang berjudul "Surat Nurlan Daulay Kepada Junjungan Jiwanya". Kisah tentang seorang mantan tahanan yang dilepaskan dari jeruji namun sejatinya bukan tambah bahagia, seperti perkiraan orang kebanyakan. Karena teman-teman seperjuangan serta orang-orang yang dikenal telah diringkus oleh aparat.
Cerita pendek ini ditulis dalam bentuk surat dengan sudut pandang pertama dari seorang mantan tahanan di Jakarta bernama Nurlan Daulay kepada kekasihnya, Las. Cerita dimulai dengan paragraf pembuka yang sangat menarik:
Las, sesungguhnya aku ingin tak henti-hentinya menulis kepadamu, tetapi kalaupun yang ini menjadi penutup tumpukan surat-surat kita sejak lima puluh tahun lalu, maka ia akan kuterima sebagai takdir. Suka atau tidak, segala sesuatu ada akhirnya. Juga pertalian antara kau dan aku.
Ada kegetiran mendalam yang sulit direlakan jika hal itu harus terjadi. Seperti juga surat-surat pamungkas seperti surat wasiat, surat perpisahan atau yang lainnya, Selalu ada tekanan berbeda dalam menuliskannya. Dalam hal ini, 'aku' seolah-olah akan hilang lepas selamanya dengan 'kau' yang selama ini sangat dekat di jiwa. Tapi apa pun akhirnya harus diikhlaskan, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan: takdir.
Satu hal yang menarik dalam surat-menyurat antara Nurlan dan Las, yang ternyata tak bisa dibongkar oleh aparat maksud tujuannya. Barangkali ini juga bagian dari gambaran kecerobohan aparat yang tidak disadarinya. Selembar surat cinta yang selalu tertulis "SEA" atau Semangat Elang Rajawali kutipan dari pidato Soekarna di pojoknya itu, menjadi semacam lentera kecil antara Nurlan dan Las untuk menggapai cinta yang tak terkalahkan. Seperti ia tulis dalam suratnya ini; Surat-surat itu, selampai itu, tidak mengkhianat. Tidak! Dan, tahulah aku, cinta tak terkalahkan. Jika ia sejati.
Sisi lain dari romantisme yang terjalin antara dua insan terasing ialah tentang situasi kamp dengan dunia luar yang ternyata sangat berbeda. Bagi Nurlan, di dalam kamp ada satu kebahagiaan yang tak bisa didapatkan ketika ia dibebaskan tanpa tahu sebabnya.
Tanpa kawan, kebebasan hanyalah penjara besar dalam bentuk lain dengan tembok-tembok khayali yang menyiksa. Sesakit-sakitnya di dalam kamp, ada kemewahan komunal dari orang-orang yang memuja kekayaan batin di sana: kesetiakawanan.
Jelas sekali maksud Nurlan menyampaikan perasaannya yang merupakan perbandingan kontras ini. Memang benar tak ada arti bila hiidup tanpa kawan. Kesepian dan kehampaan lebih menakutkan dari pada jeruji besi. Ditambah dengan aneka ragam kenangan kelam yang berhubungan dengannya dalam rentan waktu yang sangat panjang. Berapa banyak luka tak berdarah harus ditanggung sendirian. Kenangan yang menjelma hantu di setiap perputaran waktu. Nurlan yang kini telah terbebas dari pembuangan, hidup merana dikepung dinding khayali yang tidak bisa ditembus oleh sebilah pedang.
Satu-satunya yang tersisa adalah kebahagiaan ketika menulis surat--yang mungkin terakhir--kepada Las. Bahagiaan karena masih bisa dekat dengan kekasihnya. Sedang di pihak yang lain, terselip kesedihan mendalam karena akan ada jarak yang memisahkan keduanya. Mungkin benar kata banyak orang, kenangan hitam sangat menakutkan.
Ingatan itu mencapai puncaknya ketika suatu hari Nurlan mengunjungi Bang Indonesia yang menghadap Jalan Budi Kemuliaan. Di sana ia bertemu dengan tempat yang dulu adalah Komando Distrik Militer 0501, markas Operasi Kalong untuk membinasakan orang-orang yang harus ditumpas habis. Gedung itu kini telah disulap menjadi tempat mewah milik Indosat. Ia masuk ke gedung itu dan melihat suasana gemerlap yang mewah. Namun ia justru tersulut oleh ingatan-ingatan menyakitkan di masa lalu. Kamar mandi Distrik Militer 0501, tempat penyiksaan bagi pimpinan redaksi Harian Rakyat, Mula Naibaho, dapur, dan sebagainya, serentak berdatangan.
Semua tempat yang pernah ditempatinya di masa lalu , bermunculan di kepala Nurlan seperti lecutan api yang sangat panas. Nurlan melihat tempat-tempat membayang jelas pada rumput hijau halaman gedung. Seolah-olah, bangunan kenangan Distrik Militer 0501 masih nyata. Walaupun sesungguhnya kini telah menjadi satu hal yang berbeda. Hingga akhirnya ia diusir petugas karena tempat itu terlarang untuk dikunjungi.
Orang itu, siapa pun, bisa mengusirku, namun tak mungkin membungkam kenanganku. Juga ingatanmu. Tidak!
Begitulah Nurlan dan kenangannya. Banyak hal bisa berubah saat ini. Tapi sejarah tidak pernah bisa dihapuskan. Paling tidak, dari kepala mereka yang diasingkan dan disiksa. Karena benda bisa hilang, tapi ingatan terus tersimpan.
Yogyakarta, 2015
ConversionConversion EmoticonEmoticon