Al
Ghazali tumbuh dari situasi politik yang kurang setabil, pada masa itu, peta perpolitikan
terpecah dalam beberapa faksi yang berakar dari perbedaan madzhab kalam. Dalam
wilayah Daulah Abbasiyah (132-656 H) berkembang aliran Mur’jiah, Syiah dan
Ahlussunnah. Kelompok besar yang berkonflik adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di
samping itu kekuasaan Daulah Umaiyah di Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang
terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa
Daulah yang dipimpin kelompok Syiah Isma’iliyah.
Pengalaman-pengalaman
dalam situasi sosial politik yang kurang stabil ditambah dengan corak keilmuan
Imam al Ghazali inilah yang membentuk karakter pemikiran al Ghazali tentang
politik Islam. Al Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki
pemikiran cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta
para ulama lainnya. Corak pemikiran politiknya sangat benuansa etika dan adab
politik.
Pemikiran
yang cukup menarik adalah dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah
sistem kenegaraan yang mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama
dengan pemimpin yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral
yang memenuhi beberapa kriteria yang al Ghazali idealkan.
Sebuah
hal yang lumrah ketika seseorang menjadi pemimpin atau kepala negara mempunyai
suatu keinginan menguasai segala hal. Hal ini menurut al Ghazali merupakan
suatu penyakit dan harus segera diobati, karena ini akan menjadi ancaman bagi
keamanan masyarakat dan negara, bahkan akan mengancam kedamaian dunia. Penyakit
yang akan menghampiri para kepala negara adalah nafsu ingin berkuasa. Hal ini
timbul ketika dirinya (kepala negara) merasa maha kuasa.
Al Ghazali
membagi empat macam keinginan atau nafsu untuk berkuasa. Pertama, ingin
kebesaran penaklukan, yaitu keinginan hendak menjadi besar dan menaklukkan,
baik dengan ilmu pengetahuan maupun dengan kekuatan. Kedua, nafsu berkuasa,
yaitu keinginan hendak menguasai dan menundukkan orang lain di bawah
kekuasaannya. Ketiga, nafsu hak pengistimewaan. Suatu keinginan supaya dianggap
dan mempunyai hak-hak istimewa di dalam segala hal. Keempat, adalah nafsu maha
kuasa, yaitu berkeinginan untuk menguasai segalanya atau segalanya di
bawah kekuasaannya.
Empat
hal di atas menurut al Ghazali adalah suatu ancaman yang akan menghampiri bagi
moral para kepala negara atau pemegang kekuasaan yang berakibat menjadikan
mereka otoriter dan totaliter. Seorang pemimpin (kepala Negara) memiliki tugas
dan tanggung jawab yang berat dan mulia. Oleh karena itu seorang pemimpin
(kepala Negara) menurut al Ghazali harus memiliki kriteria-kriteria antara
lain, dewasa atau aqil baligh, otak yang sehat, merdeka dan bukan budak, laki-laki,
keturunan Quraisy, pendengaran dan penglihatan yang sehat, kekuasaan yang nyata,
hidayah, ilmu pengetahuan, kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan
diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela (wara’). Sedangkan
syarat mampu berijtihad dan memberi
fatwa di bidang syariah tidak termasuk sifat yang harus dimiliki seorang kepala
negara.
Pemikiran
al Ghazali tentang konsep kepemimpinan hendak melakukan reformasi moral
terhadap pemerintahan. Reformasi moral ini bagi al Ghazali menjadi
kewajiban bagi para ulama’ dan cendekiawan Islam. Ia mengatakan:
Seorang
faqih adalah orang yang menguasai aturan-aturan politik Islam dan mengetahui
cara sebagai mediator diantara manusia (pejabat negara) jika berselisih dengan
hukum yang tidak benar. Maka seorang fakih hendaknya menjadi guru dan
membimbing sultan.
Nasihat-nasihat
al Ghazali sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik sultan Seljuk dimasa
itu.
ConversionConversion EmoticonEmoticon