Kamil Dayasawa*)
Tulisan ini bukan untuk
menelisik tentang kopi dari sudut kesehatan. Sebagaimana pernah
dilakukan oleh Ibnu Sina pada 1000 M. Di
mana ketika itu kopi menjadi semacam faktor penting
dalam kehidupan sosial. Di mana-mana terdapat kedai kopi, riuh
redam suara orang berbincang seakan tak lantang tanpa secangkir kopi.
Rentetan sejarah
mencatat, kopi pertama ditemukan di Galla, Afrika Utara 1000 SM. Kemudian
menyebar ke Ethiopia, Arab, India dan negara-negara Eropa. Perlahan lahan
biji kopi menjadi komoditas yang memberikan keuntungan besar dalam dunia perdagangan.
Sejarah menyebutkan sejak abad ke-17 komplotan VOC di Hindia Belanda
meraup untung yang sangat besar dari perdagangan kopi. Tak heran jika kemudian
ada istilah "Secangkir Kopi Jawa" yang melekat dalam ingatan orang
Eropa.
![]() |
https://myfitriblog.files.wordpress.com |
Hingga hari ini kopi
terus ikut serta meramaikan khasanah kehidupan. Bukan sekadar dalam
persoalan ekonomi, seperti kedai besar Starbuck yang punya cabang di berbagai
negara. Tapi karena kopi sudah nikmat sejak dalam bentuk biji. Kafein yang terkandung
di dalamnya bahkan bisa meningkatkan energi dan kecerdasan. Melindungi
dari serangan penyakit Alzheimer. (Kris Gunnars, BSC)
Lantas apa makna kopi di
antara keriuhan kedai atau kesunyian kamar penulis, pemikir? Apa
makna kopi bagi Naguib Mahfouz yang menjadikan kedai sebagai latar dari
novel-novelnya? Bukankah kopi tak punya tangan dan kaki untuk bisa angkat senjata
melawan penguasa zalim? Barangkali kopi seperti puisi, merasuk ke dalam nadi
orang yang menikmatinya. Lalu membangkitkan kesadaran dan tenaga yang sangat
dahsyat. Atau seperti cinta, menebar candu yang tak pernah tuntas.
Tradisi minum kopi di
Indonesia telah menjamur di seluruh pelosok negeri. Bahkan sebagian
orang merasa pusing bila sehari tidak meminumnya. Kegemaran yang menjamur
itu kemudian menjadikan kopi sebagai elemen penting dalam aneka kegiatan.
Baik acara resmi atau sekadar bincang-bincang. Secara tidak langsung pecandu
cairan hitam itu tidak bisa melepaskan diri dari kepahitan yang terkandung di dalamnya.
Maka tidak mengherankan
bila sebuah slogan salah satu kedai kopi legendaris di Yogyakarta
mengatakan: "Selamatkan Anak Bangsa dari Bahaya Kekurangan Kopi". Ada
filosofi yang dalam di sana. Sejarah intelektual yang hidup di Yogyakarta tahun 90-an
telah mencatat bahwa begitu banyak percikan pemikiran meletup justru bukan dari
ruang-ruang kelas yang cenderung kaku. Dari sini terlihat, kopi sebagai pintu masuk
menuju dunia yang tak terbatas.
Efek inilah mungkin yang
menjadikan Rezim Orde Baru melarang perkumpulan perkumpulan.
Karena dalam kelompok seperti itulah ide muncul, kesadaran kesadaran hadir.
Sperti juga pernah terjadi di London pada abad ke-17, di mana Raja Charles II menutup
seluruh kedai kopi lantaran menjadi tempat musyawarah. Lebih ekstrim lagi, Paus
Clement VIII pernah memberikan fatwa bahwa minum kopi haram hukumnya. Meskipun
pada akhirnya, terdapat perubahan sikap yang menyatakan kopi boleh dikonsumsi
hanya sebagai alternatif.
Tradisi minum kopi
paling menjamur di Jawa didominasi oleh
Jawa Timur dan Yogyakarta. Statemen ini tidak berarti tempat selain
keduanya tidak ada budaya minum kopi. Di
Yogyakarta kedai kopi identik dengan tempat berkumpul seniman, cendekiawan
yang berdiskusi tanpa terikat waktu. Bahkan konon, dari warung kopi gagasan
anak-anak pergerakan yang ikut aktif dalam meruntuhkan kedudukan Soeharto
lahir. Walaupun mungkin kini telah menjadi mitos, tapi paling tidak kopi telah
mengantarkan mereka dari tradisi ke esensi.
Di Jawa Timur tidak
terlalu jauh berbeda. Hanya lebih universal menjamur ke desa-desa. Tua
atau muda, kopi menjadi hidangan wajib setiap pagi sebelum nasi. Bahkan di
Madura pernah ada tradisi saling mengantar kopi setiap hari Jumat. Kebiasaan turun-temurun
yang lain juga tradisi menghidangkan secangkir kopi setiap ada tamu bertandang.
Tak peduli berapa banyaknya, biar tak ada hidangan yang lain, asal kopi masih
tersedia orang Madura tidak akan malu. Karena kopi lebih berarti dari nasi, makanan
ringan atau susu. Kopi yang warnanya hitam itu, telah menjadi alat penghubung
silaturrahim.
Maka keraguan apalagi
pantas disematkan atas kopi, bila dalam perjalanan panjang sejarah
manusia, kopi ikut berperan penting menyongsong perubahan. Eksistensinya sebagai
benda, kopi tidak berkilau seperti emas dan tidak bening layaknya permata. Tapi
kopi bisa meletakkan diri di antara jutaan manusia dengan posisi yang sangat penting.
Tidak sekadar aksesoris yang tampak mewah di mata yang justru lebih sering tidak
mengandung makna apa-apa.
Seandainya manusia, kopi
adalah filsuf, penyair, orang gila. Tak menampakkan warna karena
lebih mementingkan isi sebagai satu-satunya jalan hidup.
1 komentar:
Click here for komentarwidiiiw.. udah rame ternyata. heuu
ConversionConversion EmoticonEmoticon