Pengumuman ujian sudah selesai, kami dari SMA lulus 100%, karena
pihak sekolah membocorkan kunci jawaban ujian. Kami para murid diminta iuran
150.000 supaya lancar lulus semulus tubuh Tamara ketika dia menjadi iklan
sabun.
Namaku Nisa, ikut ujian seleksi
perguruan tinggi lewat jalur SNMPTN, dua pilihan yang aku ambil, psikologi di
kampus paling mentereng di kota pelajar dan Sejarah di kampus yang paling
populer dengan aksi demonstrasi. Dan aku diterima di jurusan sejarah.
Masa perpeloncoan dari tanggal
27—1, ketika hari pertama dipelonco, aku dan kawan-kawan maba dibentak-bentak,
ditendang-tendang tas kami, dan dimaki-maki. Dan hari ini hari terakhir
perpeloncoan. Hari-hari ketika dendam mulai membatu, sengaja aku mengikuti OSPEK
di hari terakhir tidak memakai seragam.
“Memangnya kenapa kalau aku tidak
mau memakai seragam yang telah ditentukan!?” tanyaku.
“Kamu mau melawan!!!” bentak
panitia bermuka lusuh rambut gondrong, celana sobek dengkulnya
“Loh aku
kan cuma bertanya,” jawabku, dia terlihat semakin jengkel.
“Pokoknya kalau kamu tidak
mematuhi peraturan yang telah di tetapkan itu artinya kamu menentang panitia!”
Dalam diam aku berpikir bukankah
seharusnya yang tua mengayomi yang muda, karena yang tualah yang lebih tau
tentang kebijaksanaan. Panitia kumal pergi meninggalkanku dan menghampri
peserta OSPEK untuk mencari-cari kesalahan. Kuperhatikan polah panitia kumal
yang terkesan pilih kasih, ketika pesertanya agak mentereng cakep disikapinya
dengan lembut, karena itulah polah tingkah yang dilakukan oleh orang-orang
penjilat.
Aku masih berdiri di bawah tiang
petunjuk arah area kampus, sekitar dua puluh meter kupandang gerombolan
mahasiswa peserta OSPEK. Terdengar beratus-ratus kali teriakan yel-yel dengan
nada yang sama yang diucapkan tanpa bosan walaupun dengan nada yang sama,
“mahasiswa bersatu tak bisa dikalahkan”.
Aku tak tahu apa itu maksudnya,
kalau dimaksudkan sebagai langkah untuk memupuk jiwa kekritsan mahasiswa bagiku
aku tidak setuju, lebih tepatnya itu adalah indoktrinasi gaya dai NIPON.
Bukankah budaya semacam ini adalah warisan Jepang, mungkin saja.
Tiba-tiba dari belakang ada sosok
pemuda berpenampilan sederhana, rupawan, bersih, berdada bidang, dan berwibawa.
Kemunculannya yang tiba-tiba membuatku kaget.
“Hai, sedang melamun ya?”
ucapnya. Suara yang keluar dari bibir ranum seakan tak pernah terkontaminasi
oleh nikotin, membuatku terperanjat. Dua detik mereka saling bertatapan, dan
itulah yang dinamakan tatapan fokus.
“Aku tidak melamun,” jawabku.
“Kalau kamu tidak melamun berarti
kamu sedang berfilsafat.”
“Berfilsafat? Makanan apa itu?”
“Hmmmm sudahlah, nanti kamu akan
tahu sendiri tentang apa yang aku maksud, karena memang itu diajarkan ketika di
bangku kuliah. Berbeda dengan di negeri lain. kurikulum pendidikan di negara
kita memang agak lambat mengajarkan itu. Ohhhh, aku minta maaf telah
mengagetkanmu, perkenalkan namaku Adnan Joko Susilo, panggil aku Ad saja karena
itu lebih simpel.”
“Aku panggil kamu A.D aja biar
patriotik.”
“Jangan….”
“Kenaapa? AD kan mempunyai jiwa
patriot, membela negara dengan gagah dan mengusir musuh deng selongsong
senapan.”
“Benar sekali yang kamu katakan.
Namun patriotisme akan luntur ketika dia cuci tangan atas dosa masa lalu yang
mereka perbuat, dari merekalah perang saudara, penjagalan manusia
besar-besaran. Pada zaman kejayaan mereka semuanya menjadi murah, dari mulai
harga diri sampai harga nyawa manusia.”
Aku tercengang keheranan,
karena apa yang baru kudengar berbeda dengan apa yang kupelajari di pelajaran
IPS yang telah dikhotbahkan guru dari SD—SMA.
“Apa benar seperti itu?”
“Belajarlah yang rajin, belum
tentu yang aku omongkan itu benar pun sebaliknya belum tentu buku IPS itu
benar. Belajarlah dengan mata terbuka, telinga terbuka, pikiran terbuka, dan hati
terbuka, karena kebaikan dan kebenaran bukan ditentukan oleh kurikulum
pendidikan. Pelajarilah sejarah bangsa ini, kelak kau akan menemukan jawabanya,
dan kelak kau akan tahu kalau bangsa ini lagi sakit.”
Aku mendongakkan muka, tanda rasa
penasaran mulai menjalar kedalam pikiran.”Aku sebenarnya lebih tertarik
mempelajari psikologi, sejarah aku taruh di pilhan kedua. Sejarah kurang
menarik dan pilih kasih karena hanya membicarakan deretan tokoh ternama
dan rentetan tanggal dan tahun. Kalau aku boleh tebak pasti sejarah menjadi
pilihanmu yang pertama, soalnya kamu terlihat antusias.”
“Sepekulasimu tepat,” jawab
Adnan. “Aku memang dari kecil suka didongengi, dari dongengan itu aku ceritakan
lagi kepada teman-temanku. Tapi setelah aku mendalami dan akhirnya aku jadi
mengerti akan arti penting mempelajari sejarah, seperti apa yang pernah Bung
karno bilang ‘jas merah’”
“Menurutmu makna sejarah itu
apa?”
“Kalau kamu mau tahu jawabanya
ada syaratnya, kamu harus baca puisi ini di depan kawan-kawan.”
Spontan aku menyambar teks dari
tangan Adnan dan berlalu menuju barisan peserta OSPEK, kedatangan disambut
dengan bentakan panitia cewek berbadan buntal. “Dasar cewek manja, jangan sok
cantik kamu, masih maba sudah tidak mau diatur, hidup itu penuh aturan.”
Panitia buntal menggelandang tanganku sambil berteriak-teriak “Inilah contoh
dari anak yang sok-sokan, anak borjuis yang berlagak kayak barbie. Dia harus
dihukum karena dia tidak mematuhi peraturan. Woii barbie kamu tadi sama bang
Adnan disuruh apa?”
“Aku disururuh baca puisi bun!”
“Hahhhh, kau panggil aku apa?
Ban-bun, memangnya aku bundamu apa? Memangnya aku pernah bersetubuh sama
bapakmu?”
Dengan muka semakin kesel aku
menggerutu. “Dasar Buntal!”
“Apa kau bilang!!! Kamu nantang,
kalau bukan perempuan wes tak
tapuk lambemu.” Muka si buntal yang penuh jerawat dan hitam
tersengat matahari menjadi hitam kemerah-merahan. Panitia yang lain menghampiri
mereka untuk meredakan konflik yang semakin memanas. Salah satu panitia bergaya
pop, gaya rambut mohak—menyuruh aku maju ke depan dan segera membacakan puisi.
Toa merah berlambang bintang kuning mulai aku nyalakan, sebenarnya aku sangat
gugup sampai aku salah pencet tombol sirene, aku mulai mengatur nafas dan
menyiapkan diri membaca puisi sambil aku ingat-ingat kembali gaya penyair satir
ketika membaca puisi. Suasana menjadi hening
“Untuk
penguasa yang sepi keadilan
Untuk aparat
yang sepi akan nurani
Dan untuk
para cendekia, sudahkah kalian adil sejak dalam pikiran
Kita ini
apa?
Manusiakah
kita? Jika manusia lantas apa?
Manusiakah
kita? Jika kemanusiaan dikhotbahkan srigala di
atas podium
Manusiakah
kita? Jika singa dan srigala yang
memerintah
Manusiakah
kita? Jika domba kini bertaring rakus dan mencuri
Manusiakah
kita? Jika persidangan perkara dipimpin oleh seekor kera
Manusiakah
kita? Jika saling menerkam menikam dan memangsa kanak-kanak
Manusiakah
kita? Jika dosa perang dijadikan doa untuk perdamaian
Manusiakah
kita? Kita yakin masih manusiakah kita?
Sementara
peradaban tengah berbalik arah
Singa dan
srigala membangun istana di tengah kota
Peradaban di
kota telah menjadi rimba, yang berkuasa adalah yang terkuat
Desa-desa
dilelang di pasar saham, tanah dan sawah ditukar perumahan agak mewah
Negri macam apakah ini?
Ladang-ladang
dibuat gersang hujan dikutuk sebagai ancaman dan kesalahan, kemarau
dipersalahkan.
Gunung
meletus dicaci maki, kemana perginya manusia
Siapa
manusia siapa pula binatangnya
Yang mana
hutan yang mana pemukiman
Kemanusian
dan kebinatangan tak bisa lagi dibedakan
Sebab di
sekolahan hanya ada pelajaran berhitung dan bersepekulasi
Pendidikan
moral hanya dibisikkan di belakang kantin
Pelajaran
agama hanya dijadikan pekerjaan rumah, diselesaikan di rumah saja
Pelajar-pelajar
hanya dididik sebagai petarung untuk menerkam sesama
Ini negri macam apa?
Apa kita
masih manusia? Lalu di manakah tuhan?
Di langit,
di pohon, di puncak gunung, di laut, ataukah di tengah samudra?
Ada yang
menganggap tuhan ada di mobil, tuhan ada di motor, di mol-mol dan dan di
super market, di pabrik-pabrik.
Tuhan ada di
pesawat dan sedang berjalan-jalan, tuhan sedang bepergian keluar negeri dan
mereka mengikutinya, tuhan hanya ada di masjid dan dirumah-rumahnya yang lain,
mereka hanya sekedar mengetahuinya saja.
Tapi setiap
kali celaka maka manusia berujar dengan busuknya.
Ya tuhan……..”[1]
Semua panitia bersorak “hidup
mahasiswa” dan menyanyikan lagu Darah Juang. Semakin riuh lagu
dinyanyikan, sorak sorai menyambut, wajah-wajah legam berkeringat, para panitia
mulai membaur sebagai tanda perpeloncoan telah selesai. Mahasiswa berhamburan,
ada yang berfoto-foto, selfie,
ada yang memakan makanan ringan, ada yang meluapkan kemarahan yang tak
tertahankan dengan rasa haru
Tapi aku sama sekali tidak
tertarik dengan keramaian itu, barangkali ini hanya semacam tes mental buat
para borjuis agar lebih tahan, mandiri, dan tanggung jawab. Aku menemui Adnan
karena dia berhutang jawaban kepadaku. “Menurutmu apa makna sejarah?”
Senyum simpul menghiasi wajahnya,
“ternyata kau masih ingat tentang itu. Ya, bagiku sejarah bagai pohon kenangan
di dalamnya tersimpan tangisan ibu kehilangan anaknya. Air mata seorang istri
yang mengiringi suaminya pergi ke medan pertempuran. Di mana air mata seorang
adik yang meratapi kakaknya yang mati terkena peluru nyasar. Di pohon kenangan
kita dapat menyiksakan titik balik suatu peradaban. Dan kehendak sejarah adalah
menghukum orang-orang yang kalah. Sokrates dituduh anti Athena, Jhoan dituduh
anti gereja, Musailamah dicap sebagai nabi palsu, Galileo dihukum mati, Muso,
Kartosuwiryo dituduh pemberontak. Mereka adalah tumbal dari pemonopolian
kebenaran. Mereka dan jutaan yang lain adalah korban perpeloncoan dari yang
menang.”
ConversionConversion EmoticonEmoticon